Ternyata Ini Alasan Orang Bule Jarang Makan Nasi
Beauties, pernahkah kamu bertanya-tanya kenapa banyak orang bule jarang makan nasi dalam kehidupan sehari-hari, padahal di Asia nasi adalah “nyawa” setiap hidangan. Nah, kita terbiasa makan nasi 2–3 kali sehari, tapi di negara Barat, nasi justru dianggap makanan sampingan yang jarang disentuh.
Fenomena ini bukan sekadar soal selera, melainkan dipengaruhi budaya, geografi, kebiasaan makan sejak kecil, hingga tren yang berkembang di sana. Simak fakta selengkapnya di sini, yuk!
1. Sejak Kecil Tidak Banyak Konsumsi Nasi
Sejak kecil tidak banyak konsumsi nasi/ Foto : Freepik/ Freepik
Di negara Barat, pola makan seseorang dibentuk sejak usia dini melalui makanan yang tersedia di rumah, sekolah, dan budaya kuliner keluarga. Sejak kecil, mereka sudah terbiasa sarapan dengan roti panggang, sereal, oatmeal, atau croissant.
Saat makan siang, pilihan yang diberikan sekolah biasanya sandwich, mashed potato, pasta, atau sup yang mengandalkan gandum sebagai bahan utama. Nasi hampir tidak pernah muncul dalam menu harian mereka karena bukan bagian dari kultur kuliner Eropa maupun Amerika.
Akibatnya, rasa dan tekstur nasi tidak pernah menjadi sesuatu yang “dicari.” Berbeda dengan masyarakat Asia yang punya bonding emosional dengan nasi, orang Barat melihat nasi hanya sebagai makanan opsional, bukan kebutuhan.
Kebiasaan makan jangka panjang ini membuat nasi tidak memiliki tempat penting dalam hidup mereka, sehingga jarang sekali masuk ke menu sehari-hari saat dewasa.
2. Nasi Tidak Terlihat Mengenyangkan
Nasi tidak terlihat mengenyangkan/ Foto : Freepik/ Freepik
Banyak orang Barat merasa nasi putih tidak memberi efek kenyang yang “memuaskan.” Mereka tumbuh dengan karbohidrat yang lebih padat secara tekstur dan lebih berat di lambung, seperti baked potato, pasta al dente, atau roti gandum tebal yang seratnya tinggi. Makanan-makanan ini membuat perut terasa penuh, padat, dan tahan lama.
Sebaliknya, nasi putih yang teksturnya lembut, ringan, dan mudah dicerna terasa seperti makanan sampingan, bukan makanan utama. Hal ini juga dipengaruhi oleh psikologi makan, makanan yang terlihat “voluminous” dianggap memberi kenyang lebih lama, sementara nasi dalam porsi besar sekalipun tampak kecil jika dibandingkan kentang atau pasta. Karena mereka mengukur kenyang berdasarkan tekstur, volume, dan kebiasaan, nasi akhirnya tidak jadi pilihan praktis untuk makanan sehari-hari.
3. Nasi Dianggap Tidak Praktis untuk Dimasak
Nasi dianggap tidak praktis untuk dimasak/Foto : Freepik/ Freepik
Sebagian besar orang Barat tidak memiliki rice cooker di rumah. Mengolah nasi menggunakan panci membutuhkan teknik tertentu seperti mengukur air, mengatur api, menunggu proses menyerap air, hingga memastikan nasi tidak gosong atau terlalu lembek. Melansir Foodstuff, banyak orang yang menganggap memasak nasi merupakan proses yang dianggap merepotkan bagi mereka yang terbiasa dengan makanan siap masak.
Pasta, di sisi lain, hanya membutuhkan satu langkah sederhana, rebus dan tiriskan. Kentang pun mudah, hanya panggang, rebus, atau goreng. Roti bahkan lebih gampang lagi, tinggal ambil dari rak dan siap dimakan.
Dalam kehidupan modern yang serba cepat, nasi dianggap kalah praktis dari sumber karbohidrat lain. Karena faktor kemudahan sangat memengaruhi preferensi makan, nasi pun jarang dipilih menjadi makanan utama.
4. Harga Nasi Bisa Lebih Mahal di Negara Barat
Harga nasi bisa lebih mahal di negara barat/ Foto : Freepik/ Freepik
Beras bukan tanaman lokal di banyak wilayah Eropa dan Amerika Utara. Untuk memperoleh beras berkualitas, sebagian besar negara harus mengimpor dari Asia. Ini membuat harga beras jauh lebih mahal dibandingkan pasta, roti, dan kentang yang diproduksi massal dengan biaya rendah.
Di supermarket Barat, pasta bisa semurah 1 dolar per bungkus besar, sementara beras bisa mencapai 3–6 dolar untuk porsi yang sama. Karena masyarakat Barat sangat sensitif terhadap harga bahan makanan pokok, terutama bagi keluarga besar, memilih opsi murah yang tersedia secara lokal lebih masuk akal. Karena faktor ekonomi ini, nasi tidak menjadi pilihan utama dalam menu sehari-hari.
5. Nasi Lebih Identik dengan Masakan Asia
Ilustrasi nasi/Foto: Freepik
Dikutip dari National Library of Medicine, nasi tidak dianggap sebagai makanan netral seperti roti atau kentang. Nasi memiliki identitas kuat sebagai makanan khas Asia, termasuk Jepang, Thailand, China, India, hingga Indonesia. Hal ini membuat nasi sering muncul dalam konteks restoran Asia atau masakan etnik, bukan makanan sehari-hari yang universal.
Ketika orang Barat makan nasi, biasanya mereka membayangkan sushi, fried rice, curry rice, teriyaki bowl, atau nasi goreng. Artinya, nasi sudah melekat dengan “makanan Asia,” bukan makanan rumahan Barat. Karena itu, nasi tidak menjadi rutin dalam keseharian mereka, melainkan hanya muncul saat sedang ingin sesuatu yang eksotik atau berbeda dari makanan biasa.
6. Tidak Terbiasa dengan Konsep Lauk
Tidak terbiasa dengan konsep lauk/ Foto : Freepik/ Freepik
Orang Asia terbiasa makan nasi dengan berbagai lauk pendamping seperti sayur, sup, tumisan, gorengan, sambal, hingga kuah. Sementara itu, orang Barat terbiasa dengan konsep one dish meal seperti pasta, pizza, burger, steak dengan mashed potato, atau salad bowl yang sudah lengkap dalam satu piring.
Karena tidak terbiasa mengombinasikan nasi dengan banyak lauk kecil, mereka merasa nasi “bingung mau dipadukan dengan apa.” Di sisi lain, bagi kita, makan tanpa nasi terasa kurang lengkap. Perbedaan ini menciptakan preferensi yang besar sehingga nasi tidak cocok dalam struktur makanan harian mereka.
____
Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk gabung ke komunitas pembaca Beautynesia B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!