Mengapa Kita Sering Merasa Benar Walau Salah? Ini Penjelasan Ahli
Situasi di mana seseorang merasa benar meskipun sebenarnya salah adalah fenomena yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini bisa dipengaruhi oleh berbagai faktor psikologis, sosial, dan emosional.
Memahami fenomena ini dan alasan dibaliknya penting agar kita bisa lebih sadar akan keterbatasan diri, terbuka terhadap kritik, dan menghargai pentingnya berdiskusi dengan bukti yang objektif. Nah, untuk menghindari konflik karena kebenaran subjektif, kamu bisa mencoba memahami fenomena tersebut lewat penjelasan yang dilansir dari NBC Washington berikut ini!
Kenapa Orang Bisa Percaya Diri Walaupun Salah
Penelitian yang diterbitkan di jurnal PLOS ONE menunjukkan bahwa otak kita sering terlalu percaya diri dalam mengambil keputusan meskipun hanya berdasarkan informasi yang terbatas. Fenomena ini disebut “ilusi kecukupan informasi”. Peneliti menemukan bahwa ketika seseorang diberikan informasi parsial yang terlihat masuk akal, mereka sering merasa yakin bahwa mereka sudah memiliki cukup data untuk membuat keputusan yang tepat.
Dalam penelitian tersebut, peserta yang hanya menerima setengah dari keseluruhan informasi malah merasa lebih percaya diri dibandingkan mereka yang menerima informasi lengkap. Hal ini karena otak manusia cenderung cepat mengambil kesimpulan untuk menghemat energi, bahkan jika informasinya belum memadai. Menurut Angus Fletcher, profesor di Ohio State University, perilaku ini umum terjadi karena otak sering kali “merasa cukup” dengan data yang terbatas untuk menarik kesimpulan.
Efek Sudut Pandang Terhadap Rasa Percaya Diri
Foto: Pexels.com/ Alexander Suhorucov
Penelitian dimulai dengan hampir 1.300 orang dengan rata-rata usia 40 tahun diminta membaca sebuah cerita fiktif tentang sebuah sekolah yang kehabisan air karena cadangan air bawah tanahnya mengering. Kelompok peserta dibagi menjadi 3 bagian:
- Sekitar lima ratus orang membaca versi cerita yang mendukung penggabungan sekolah, dengan 3 argumen mendukung dan satu poin netral.
- Lima ratus orang lainnya membaca cerita yang mendukung tetap terpisah, juga dengan 3 argumen mendukung dan satu poin netral.
- Tiga ratus orang sisanya, sebagai kelompok kontrol, membaca cerita yang seimbang, memuat 3 argumen dari kedua sisi serta satu poin netral.
Setelah membaca, peserta diminta menyampaikan pendapat mereka tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh sekolah serta seberapa yakin mereka memiliki informasi yang cukup untuk membuat keputusan tersebut. Hasil survei menunjukkan mayoritas peserta cenderung setuju dengan argumen yang mereka baca, baik itu mendukung penggabungan maupun tetap terpisah dan merasa yakin bahwa mereka memiliki cukup informasi untuk mendukung pendapat tersebut.
Namun, peserta yang hanya membaca satu sudut pandang cenderung lebih percaya diri dengan pendapat mereka dibandingkan kelompok kontrol yang membaca argumen dari kedua sisi.
Sebagian peserta kemudian diminta membaca informasi dari sudut pandang yang berlawanan dengan artikel yang telah mereka baca. Meskipun awalnya percaya diri dengan pendapat mereka, setelah diperkenalkan dengan informasi baru yang terasa masuk akal, banyak peserta yang bersedia mengubah pendapat mereka. Namun, temuan ini mungkin tidak berlaku dalam situasi di mana seseorang sudah memiliki pandangan yang tertanam kuat, seperti dalam konteks politik.
Secara umum, Todd Rogers, seorang ilmuwan perilaku di Harvard Kennedy School menyamakan temuan ini dengan studi “gorila tak terlihat” yang menggambarkan fenomena “inattentional blindness” atau ketidakmampuan menyadari sesuatu yang jelas karena terlalu fokus pada hal lain. Temuan dalam studi itu juga sejalan dengan ilusi kedalaman penjelasan di mana seseorang merasa yakin mengetahui suatu hal tetapi sebenarnya hanya memahami permukaannya saja. Misalnya, banyak orang merasa tahu cara kerja toilet, tetapi kesulitan menjelaskan mekanismenya secara detail.
Oleh karena itu, peneliti juga menekankan pentingnya rasa ingin tahu dan kerendahan hati untuk mengatasi kepercayaan diri yang berlebihan terhadap pengetahuan yang salah. Selain itu, fakta bahwa peserta dalam penelitian ini bersedia mengubah pendapat mereka setelah menerima informasi baru menjadi alasan untuk sedikit optimis bahwa manusia dapat membuka pikirannya terhadap bukti yang relevan.
***
Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk, gabung ke komunitas pembaca Beautynesia, B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!