Bisakah Nikel Berkelanjutan Tercapai di Era Energi Bersih? Ini Jawaban Peneliti dari MIT
Tria Oktyana | Beautynesia
Kamis, 03 Jul 2025 17:15 WIB

Foto: Freepik.com/wirestock
Seiring meningkatnya permintaan global terhadap teknologi energi bersih, kebutuhan akan mineral strategis seperti nikel terus melonjak. Nikel kini bukan hanya logam industri biasa tetapi menjadi elemen kunci dalam baterai kendaraan listrik (EV) dan digunakan dalam panel surya dan turbin angin. Namun, di balik peran vital ini, muncul tantangan besar yaitu bagaimana memastikan pasokan nikel yang sustainable tanpa merusak lingkungan dan masyarakat lokal?
Dalam studi yang diterbitkan dalam jurnal Joule, tim peneliti dari MIT yang dipimpin oleh Prof. Elsa Olivetti bersama Basuhi Ravi dan Karan Bhuwalka, mengulas secara mendalam mengenai rantai pasok nikel. Khususnya peran Indonesia sebagai produsen utama, serta langkah konkret yang dapat diambil oleh industri dan pembuat kebijakan untuk memastikan keberlanjutan jangka panjang.
Mengapa Nikel Kini Jadi Primadona dalam Ekonomi Energi Bersih?
Ilustrasi Tambang Nikel/Foto: Freepik/wirestock
Peran nikel dalam ekosistem energi bersih makin signifikan, khususnya dalam komponen baterai EV yang membutuhkan nikel sulfat berkualitas tinggi. Kandungan ini memungkinkan baterai memiliki kepadatan energi yang tinggi, yang berarti jarak tempuh kendaraan listrik menjadi lebih jauh. Tak heran jika permintaan nikel meningkat pesat dan diprediksi akan terus meroket.
Namun di balik prospek cerah tersebut, terdapat masalah kompleks dalam rantai pasok nikel. Mulai dari tahapan pertambangan yang menyebabkan deforestasi, pencemaran tanah, hingga proses pemurnian yang masih sangat bergantung pada energi berbasis fosil. Bahkan, beberapa teknologi pemrosesan baru justru lebih intensif energi sehingga dapat menggandakan jejak karbon dari baterai berbasis nikel.
Raja Nikel Dunia dan Tantangan di Baliknya
Ilustrasi Tambang Nikel/Foto: Freepik/rawpixel.com
Sebagai negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia, Indonesia memainkan peran krusial dalam memenuhi kebutuhan global. Pada tahun 2023 saja, Indonesia menyumbang hampir setengah dari total produksi nikel dunia. Sebuah lonjakan luar biasa dibandingkan beberapa tahun lalu. Pertumbuhan ini mendorong kemajuan ekonomi lokal, tetapi juga memunculkan dampak lingkungan dan sosial yang tidak bisa diabaikan.
Ekspansi tambang nikel di Indonesia telah dikaitkan dengan pencemaran udara, kerusakan hutan tropis, serta penggusuran komunitas adat dan konflik lahan. Selain itu, kualitas pekerjaan di sekitar tambang juga menjadi sorotan dari segi keselamatan hingga kesejahteraan pekerja.
Di sisi lain, ketergantungan Indonesia pada energi batu bara untuk proses pemurnian nikel membuat intensitas karbon nikel dari wilayah ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara produsen lain seperti Australia.
Menerapkan Keberlanjutan yang Tidak Mustahil
Ilustrasi Tambang Nikel/Foto: Freepik/freepik
Menurut Karan Bhuwalka, tantangan ini tidak bisa diselesaikan oleh satu pihak saja. Diperlukan pendekatan dua arah yaitu dari negara konsumen maupun negara produsen. Negara-negara seperti AS dan Uni Eropa dapat mendorong permintaan yang lebih selektif melalui kebijakan seperti Inflation Reduction Act atau Critical Raw Materials Act sehingga memberi insentif bagi perusahaan yang membeli nikel dari sumber yang lebih ramah lingkungan.
Sementara itu, negara produsen seperti Indonesia juga memiliki peran penting dalam memperkuat regulasi lingkungan, mendorong teknologi pemrosesan bersih, serta menjamin partisipasi masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan.
Kebijakan seperti pengelolaan limbah yang lebih ketat, sistem bagi hasil yang adil, dan pembangunan teknologi rendah emisi bisa menjadi kunci dalam menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan.
***
Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk gabung ke komunitas pembaca Beautynesia B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!
(dmh/dmh)