4 Tanda Kamu Butuh Detoks Media Sosial Menurut Ilmu Psikologi
Di era digital ini, media sosial menjadi bagian dari kehidupan hampir setiap orang. Dari bangun tidur hingga menjelang tidur lagi, tangan kita refleks membuka Instagram, TikTok, atau X (Twitter).
Meski menyenangkan dan informatif, terlalu lama berselancar di dunia maya tanpa kendali justru bisa berdampak negatif pada kesehatan mental. Dalam psikologi, fenomena ini disebut digital overload, yakni kondisi di mana otak kewalahan menerima stimulus sosial dan emosional yang terus-menerus dari layar.
Detoks media sosial bukan berarti kamu harus menghapus semua akun atau menghilang dari dunia digital selamanya. Namun, penting untuk mengetahui kapan kebiasaan online yang kamu lakukan sudah dalam tahap tidak sehat.
Berikut empat tanda menurut  ilmu psikologi bahwa kamu mungkin butuh detoks media sosial secepatnya.
1. Gelisah Saat Tidak Membuka Media Sosial
![]() Fear of missing out/ Foto: Freepik.com/freepik |
Pernah merasa tangan gatal untuk membuka ponsel hanya beberapa menit setelah menutupnya? Jika iya, itu bisa jadi tanda FOMO (Fear of Missing Out), yakni ketakutan ketinggalan informasi atau tren terbaru dari media sosial.
Menurut penelitian psikologi sosial, FOMO dapat memicu kecemasan dan membuat seseorang terus mencari validasi dari interaksi digital. Saat notifikasi berhenti, otak yang terbiasa dengan sanjungan berupa likes atau komentar akan memunculkan rasa tidak tenang dan mirip dengan gejala kecanduan ringan.
Jika kamu mulai merasa cemas saat tidak online, sulit fokus tanpa mengecek postingan media sosial, atau khawatir akan ketinggalan sesuatu, itu tanda pertama kamu perlu istirahat berselanjar di dunia maya.
2. Terlalu Membandingkan Diri dengan Orang Lain
Membandingkan diri dengan orang lain/ Foto: Freepik.com/freepik
Salah satu efek yang cukup berbahaya dari media sosial adalah kebiasaan membandingkan diri dengan orang lain.
Menurut teori Social Comparison yang dikemukakan oleh Leon Festinger, manusia secara alami menilai dirinya dengan membandingkan dengan orang lain.
Namun, media sosial memperparah hal ini karena yang kita lihat hanyalah versi terbaik dari kehidupan orang lain yang tidak lain terkadang merupaka hasil seleksi dan filter, bukan realita utuh.
Ketika kamu mulai merasa hidupmu kurang menarik, pencapaianmu tidak cukup hebat, atau fisikmu tidak sebaik orang lain di timeline, maka media sosial sudah mulai mengganggu konsep diri dan kesejahteraan mentalmu.
Psikolog menyebut kondisi ini dapat menurunkan harga diri dan meningkatkan risiko depresi ringan. Maka dari itu, sudah waktunya kamu rehat sejenak dari sosial media.
3. Sulit Fokus dan Produktivitas Menurun
Sulit fokus akibat sosial media/ Foto: Freepik.com/benzoix
Media sosial dirancang untuk mempertahankan perhatian selama mungkin. Setiap scroll, video pendek, dan notifikasi adalah hasil dari algoritma yang mengunci perhatianmu. Dalam psikologi kognitif, hal ini disebut attentional fragmentation kemampuan fokus yang terpecah karena stimulus digital berlebihan.
Jika kamu merasa waktu habis begitu saja tanpa sadar, pekerjaan terbengkalai, atau kamu kesulitan menyelesaikan satu tugas tanpa membuka ponsel, itu tanda jelas kamu mengalami overstimulasi digital.
Otak manusia tidak dirancang untuk terus-menerus berpindah fokus, sehingga kebiasaan ini bisa menurunkan efisiensi kerja dan bahkan memicu stres kronis.
Melakukan detoks media sosial misalnya dengan membatasi waktu penggunaan media sosial sekitar 30 menit per hari terbukti dapat meningkatkan konsentrasi dan kualitas tidur.
4. Hubungan dengan Dunia Nyata Mulai Tergeser
Lebih banyak interaksi virtual/ Foto: Freepik.com/
Tanda paling mencolok bahwa kamu butuh detoks media sosial adalah ketika hubungan dan aktivitas di dunia nyata mulai terabaikan.
Apakah kamu lebih sering menunda waktu bersama keluarga demi menonton video lucu? Atau merasa lebih terhubung dengan teman online daripada orang yang benar-benar ada di sekitarmu?
Dalam ilmu psikologi, kondisi ini berkaitan dengan disconnection paradox, di mana seseorang merasa terhubung secara virtual, namun sebenarnya semakin terisolasi secara sosial.
Beauties, interaksi digital memang memberi sensasi kedekatan, tetapi tidak bisa menggantikan hubungan nyata yang melibatkan bahasa tubuh, ekspresi wajah, dan empati langsung.
Jika kamu mulai kehilangan keseimbangan ini, sudah saatnya untuk menekan tombol pause dan kembali pada dunia nyata yang lebih hangat.
***
Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk, gabung ke komunitas pembaca Beautynesia B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!
